Rabu, 08 Oktober 2014

MAKALAH



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
     Sastra merupakan suatu kegiatan mengekspresikan diri yang diwujudkan dalam bentuk karya yaitu yang disebut karya sastra. Sastra boleh juga disebut karya seni karena didalamnya mengandung keindahan atau estetika. Sedangkan ilmu sastra adalah ilmu yang menyelediki karya sastra secara ilmiah atau bisa disebut bentuk dan cara pendekatan  terhadap  karya  sastra dan gejala sastra. Dalam ilmu satra terdapat disiplin ilmu yaitu teori sastra, sejarah sastra dan kritik sastra. Tiga disiplin ilmu tersebut merupakan merupakan pilar utama yang tidak dapat dipisahkan dalam ilmu sastra. Ketiga bidang tersebut saling membutuhkan dan saling melengkapi untuk menggali kedalaman sastra. Seperti halnya Kritik sastra yang memiliki peran besar dalam perkembangan teori sastra dan salah satu teori tersebut adalah resepsi sastra. Oleh karena itu, teori resepsi sastra adalah bagian yang tak terpisahkan dari kritik sastra. 
      Dalam kritik sastra terdapat beberapa pendekatan-pendekatan yaitu pendekatan ekspresif, pendekatan mimesis, pendekatan objektif dan pendekatan pragmatic. Khususnya pendekatan pragmatig, dimana pendekatan pragmatig yang memberikan perhatian utama terhadap peranan pembaca. Dan pendekatan pragmatiglah yang berhubungan dengan salah satu teori modern yang mengalami perkembangan yang sangat pesat, yaitu teori resepsi sastra. Seperti halnya menurut Teeuw (dalam Pradopo 2007:207) menegaskan bahwa resepsi termasuk dalam orientasi pragmatik. Resepsi sastra merupakan aliran sastra yang meneliti teks sastra dengan mempertimbangkan pembaca selaku pemberi sambutan atau tanggapan. Dalam memberikan sambutan dan tanggapan tentunya dipengaruhi oleh faktor ruang, waktu, dan golongan sosial. . Karya sastra sangat berhubungan erat dengan pembaca, karena karya sastra ditujukan kepada kepentingan pembaca sebagai menikmat karya sastra. Selain itu, pembaca juga yang menentukan makna dan nilai dari karya sastra, sehingga karya sastra mempunyai nilai karena ada pembaca yang memberikan nilai. Dan tanpa adanya pembaca, karya sastra tersebut hanya akan menjadi artefak.
        Salah satu teori yaitu teori resepsi sastralah yang saya anggap cocok untuk mencoba menggali kedalamanya sastra dengan pembacanya. Teori resepsi sastra ini yang akan saya uraiakan pada makalah ini. Dimana dalam pembahasannya akan dijelaskan mengenai teori resepsi sastra, seperti halnya mengenai teori itu sendiri, sejarah teori, tokoh yang terlibat dalam teori ini, substansi dan metode kerjanya.

B.     Rumusan Masalah 
Ada 6 masalah yang akan dibahas dalam makalah ini.


1.      Apa yang dimaksud dengan teori resepsi sastra?
2.      Bagaimana sejarah perkembangan teori resepsi sastra?
3.      Bagaimana konsep teori resepsi sastra?
4.      Siapa saja tokoh teori resepsi sastra?
5.      Bagaimana penerapan teori resepsi sastra?
6.      Apa saja kelebihan dan kelemahan metode penelitian resepsi sastra?

C.    Tujuan
Ada 6 tujuan yang akan dicapai dalam makalah ini.
1.      Mendeskripsikan yang dimaksud dengan teori resepsi sastra
2.      Mengetahui sejarah perkembangan teori resepsi sastra
3.      Mengetahuionsep teori resepsi sastra
4.      Mengetahui tokoh teori resepsi sastra
5.      Mengetahui penerapan teori resepsi sastra
6.      Mendeskripsikan apa saja kelebihan dan kelemahan metode penelitian resepsi sastra

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Teori Sastra
Resepsi sastra merupakan aliran sastra yang meneliti teks sastra dengan mempertimbangkan pembaca selaku pemberi sambutan atau tanggapan. Dalam memberikan sambutan dan tanggapan tentunya dipengaruhi oleh faktor ruang, waktu, dan golongan sosial (Sastriyani 2001:253).
Resepsi berasal dari bahasa Latin yaitu recipere yang diartikan sebagai penerimaan atau penyambutan pembaca (Ratna dalam Rahmawati 2008:22). Dalam arti luas resepsi diartikan sebagai pengolahan teks, cara-cara pemberian makna terhadap karya, sehingga dapat memberikan respon terhadapnya. Respon yang dimaksudkan tidak dilakukan antara karya dengan seorang pembaca, melainkan pembaca sebagai proses sejarah, pembaca dalam periode tertentu (Ratna dalam Walidin 2007).
Menurut Pradopo (2007:218) yang dimaksud resepsi adalah ilmu keindahan yang didasarkan pada tanggapan-tanggapan pembaca terhadap karya sastra. Teeuw (dalam Pradopo 2007:207) menegaskan bahwa resepsi termasuk dalam orientasi pragmatik. Karya sastra sangat erat hubungannya dengan pembaca, karena karya sastra ditujukan kepada kepentingan pembaca sebagai menikmat karya sastra. Selain itu, pembaca juga yang menentukan makna dan nilai dari karya sastra, sehingga karya sastra mempunyai nilai karena ada pembaca yang memberikan nilai.
Pradopo (2007:210-211) mengemukakan bahwa penelitian resepsi dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu secara sinkronis dan diakronis. Penelitian sinkronis merupakan penelitian resepsi terhadap sebuah teks sastra dalam masa satu periode. Penelitian ini menggunakan pembaca yang berada dalam satu periode. Sedangkan penelitian diakronis merupakan penelitian resepsi terhadap sebuah teks sastra yang menggunakan tanggapan-tanggapan pembaca pada setiap periode.

Teori resepsi tidak hanya memahami bentuk suatu karya sastra dalam bentangan historis berkenaan dengan pemahamannya. Teori menuntut bahwa sesuatu karya individu menjadi bagian rangkaian karya lain untuk mengetahui arti dan kedudukan historisnya dalam konteks pengalaman kesastrannya. Pada tahapan sejarah resepsi karya sastra terhadap sejarah sastra sangat penting, yang terakhir memanifestasikan dirinya sebagai proses resepsi pasif yang merupakan bagian dari pengarang. Pemahaman berikutnya dapat memecahkan bentuk dan permasalahan moral yang ditinggalkan oleh karya sebelumnya dan pada gilirannya menyajikan permasalahan baru.
Resepsi sastra merupakan aliran sastra yang meneliti teks sastra dengan mempertimbangkan pembaca selaku pemberi sambutan atau tanggapan. Dalam memberikan sambutan dan tanggapan tentunya dipengaruhi oleh faktor ruang, waktu, dan golongan sosial. Secara definitif resepsi sastra berasal dari kata recipere (Latin), reception (Inggris), yang diartikan sebagai penerimaan atau penyambutan pembaca. Dalam arti luas resepsi diartikan sebagai pengolahan teks, cara-cara pemberian makna terhadap karya sehingga dapat memberikan respon terhadapnya. Respon yang dimaksudkan tidak dilakukan antara karya dengan seorang pembaca, melainkan pembaca sebagai proses sejarah, pembaca dalam periode tertentu (Ratna 2009: 165).
Teori resepsi berpengaruh besar pada cara-cara studi literer yang kemudian banyak dikerjakan, tetapi jalur yang dieksplorasikan ternyata tidak terbukti menjadi seterbuka dan seproduktif seperti diimpikan pada mulanya. Hal tersebut menjadi benar saat teori resepsi dikonfrontasikan dengan keberagaman posisi yang diasosiasikan dengan strukturalis, postrukturalis, atau gerakan avantgarde lain. Dalam teori-teori itu ditunjukkan bagaimana perkembangbiakan wacana yang menentang cara yang dominan dalam mempertimbangkan genre sastra, yang seringkali lebih radikal dan tidak selalu lebih produktif. Oleh karena itu, empat wilayah reseptif yang meliputi teks, pembaca, interpretasi, dan sejarah sastra, perlu direfleksikan kembali agar perbedaan ramifikasi dan limitasinya dengan kecenderungan lain dalam kritik sastra kontemporer menjadi lebih tampak.
B.     Sejarah Perkembangan Teori Resepsi Sastra
Sejarah teori sastra dimulai dari antologi mengenai teori respsi sastra oleh Rainer Warning (1975) yang memasukkan karangan sarjana-sarjana dari Jerman. Sarjana pertama yang karangannya dimuat oleh Warning adalah penelitian Leo Lowenthal sebelum Perang Dunia Kedua yang mempelajari penerimaan terhadap karya-karya Dostoyevski di Jerman. Tujuan penelitiannya adalah untuk mengetahui pandangan umum di Jerman ketika itu, dan bisa dikatakan bahwa ini juga merupakan pandangan dunia. Walaupun penelitian Lowenthal termasuk dalam penelitian sosiologi sastra, tetapi ia telah bertolak dari dasar yang kelak menjadi dasar teori resepsi sastra. Berdasarkan hasil penelitian Lowenthal ini, Warning (dalam Junus, 1985:29) memberikan konsep bahwa dalam teori resepsi sastra terhimpun sumbangan pembaca yang menentukan arah penelitian ilmu sastra yang mencari makna, modalitas, dan hasil pertemuan anatara karya dan khalayak melalui berbagai aspek dan cara.
Selanjutnya, Warning memasukkan karangan dua sarjana dari Jerman, yakni Ingarden dan Vodicka. Ingarden berbicara tentang kongkretisasi dan rekonstruksi. Berangkat dari hakikat suatu karya yang penuh dengan ketidakpastian estetika, hal ini bisa dipastikan melalui kongkretisasi, sedangkan ketidakpastian pandangan dapat dipastikan melalui rekonstruksi, kedua hal ini dilakukan oleh pembaca. Vodicka juga berangkat dari karya. Karya dilihat sebagai pusat kekuatan sejarah sastra. Pembaca bukan hanya terpaut oleh kehadiran karya sastra, tetapi juga oleh penerimaannya. Dalam menganalisis penerimaan suatu karya sastra, kita harus merekonstruksi kaidah sastra dan anggapan tentang sastra pada masa tertentu. Selanjutnya melakukan studi tentang kongkretisasi karya sastra, dan terakhir mengadakan studi tentang keluasan/kesan dari suatu karya ke dalam lapangan sastra/bukan sastra.

C.    Konsep Teori Resepsi Sastra
Perkembangan resepsi sastra lebih bersemangat setelah munculnya pikiran-pikiran Jausz dan Iser yang dapat dianggap memberikan dasar teoretis dan epistemologis. Tumpuan perhatian dari teori sastra akan diberikan kepada teori yang mereka kembangkan.
Jausz memiliki pendekatan yang berbeda dengan Iser tentang resepsi sastra, walaupun keduanya sama-sama menumpukan perhatian kepada keaktifan pembaca dalam menggunakan imajinasi mereka. Jausz melihat a) bagaimana pembaca memahami suatu karya seperti yang terlihat dalam pernyataan/penilaian mereka dan b) peran karya tidak penting lagi. Yang terpenting di sini yaitu aktibitas pembaca itu sendiri. Sedangkan Iser a) lebih terbatas pada adanya pembacaan yang berkesan tanpa pembaca perlu mengatakanannya secara aktif dan b) karya memiliki peranan yang cukup besar. Bahkan kesan yang ada pada pembaca ditentukan oleh karya itu sendiri (Junus, 1985:49).

D.    Tokoh Teori Resepsi Sastra
Teori Dalam membahas teori resepsi sastra, kita akan menemukan beberapa tokoh pemikir teori tersebut, seperti Hans Robert Jausz. Jausz adalah tokoh utama dalam ilmu sastra yang menekankan peranan pembaca. Pendekatan tersebut mirip dengan teori Mukarovsky dan Vodicka. Jauss merupakan seorang ahli dalam bidang sastra Perancis abadpertengahan dari Universitas Konstanz. Sebagai seorang ahli dalam bisangsastra lama, Jauss beranggapan bahwa karya sastra lama merupakanproduk masa lampau yang memiliki relevansi dengan masa sekarang,dalam arti ada nilai-nilai terntentu untuk orang yang membacanya. Untuk menggambarkan relevansi itu Jauss memperkenalkan konsep yangterkenal: Horizon Harapan yang memungkinkan terjadinya penerimaan dan pengolahan dalam batin pembaca terhadap sebuah objek literer.Melalui penelitian resepsi, Jauss ingin merombak sejarah sastra masa itu yang terkesan hanya memaparkan sederetan pengarang dan jenis sastra(genre). Fokus perhatiannya adalah proses sebuah karya sastra diterima, sejak pertama kali ditulis sampai penerimaan-penerimaan selanjutnya. Pada tahun 1967 Jausz menggegarkan dunia ilmu sastra tradisional di Jerman Barat. Jausz mempunyai latar belakang sebagai peneliti sastra dan sejarah sastra abad pertengahan di Eropa Barat. Menurutnya, penelitian sejarah sastradi Eropa Barat menemui jalan buntu. Pada abad ke-20 menurut Jausz ada dua aliran yang menentangnya, aliran pertama yaitu pendekatan sastra kaum Marxis. kalangan Marxisme lebih menekankan pada sisi fungsi sosial karya dari pada nilai estetik karya tersebut dalam kajianya. Aliran kedua yaitu aliran formalis Rusia yang dianggap terlalu mementingkan nilai estetik karya dari pada nilai fungsi sosialnya. Berbagai survai mengenai pendekatan dalam penelitian sastra, dahulu dan sekarang. Jausz mengemukakan gagasannya yang baru, setidaknya dalam rangka ilmu sastra tradisional: menurut Jausz para peneliti sastra, juga dalam aliran marxis dan formalis, telah melupakan atau menghilangkan factor terpenting dalam proses semiotic yang disebut kasusastraan, yaitu pembaca. Justru pembacalah yang merupakan faktir yang hakiki dalam menentukan dalam sastra.
1.      Wolfgang Iser.
Berbeda dengan Jauz, Iser menganggap karya sastra sebagai suatu bentuk komunikasi. Dalam hal ini estetika tanggapan dianalisis dalam hubungan dialektika antara teks, pembaca, dan interaksi antara keduanya. Iser (1987: 27-30) memberikan perhatian pada hubungan antara teks dengan pembaca, dalam hubungan ini kekuatan karya untuk memberikan efek kepada pembaca. Pembaca yang dimaksud oleh Iser bukanlah pembaca nyata melainkan pembaca implisit, instansi pembaca yang dicptakan oleh teks. Pembaca implisit adalah suatu instansi di dalam teks yang memungkinkan terjadinya komunikasi antara teks dan pembacanya. Dengan kata lain, pembaca yang diciptakan oleh teks-teks itu sendiri, yang memungkinkan kita membaca teks itu dengan cara tertentu. Iser mementingkan pelaksanaan teorinya pada soal kesan (wirkung). Iser menghendaki pembaca “melakukan” sesuatu dalam membaca suatu teks atau karya sastra. Dengan kata lain, kita sebagai pembaca diajak untuk menginterpretasikan sendiri makna-makna dalam karya, membentuk dunia sendiri sesuai dengan imajinasi kita masing-masing, menjadi tokoh-tokoh di dalamnya, dan merasakan sendiri apa yang dirasakan oleh tokoh-tokoh dalam karya tersebut. Melalui proses membaca ini, pembaca akan menciptakan kesan (wirkung), pembaca dapat menyatakan sikapnya, apakah ia berada di pihak pro atau kontra, sedih atau gembira, suka atau benci, dll. Hal itu tidak terlepas karena Iser (Ibid.: 182-203) juga mengintroduksi konsep ruang kosong, ruang yang disediakan oleh penulis, di mana pembaca secara kreatif, secara bebas dapat mengisinya. Ruang kosong mengandaikan teks bersifat terbuka, penulis seolah – olah hanya menyediakan kerangka secara global sehingga pembaca secara aktif dan kreatif dapat berpartisipasi.
2.      Jonathan Culler
Keinginan Culler yang utama adalah menggeser fokus perhatian dari teks kepada pembaca. Culler menyatakan bahwa suatu teori pembacaan harus mengungkap norma dan prosedur yang menuntun pembaca kepada suatu penafsiran. Kita semua tahu bahwa setiap pembaca memiliki penafsiran yang berbeda-beda mengenai sebuah teks yang sama. Berbagai variasi penafsiran itu harus dapat dijelaskan oleh teori. Sekalipun penafsiran itu berbeda-beda tetapi mungkin saja mereka mengikuti satu konvensi penafsiran yang sama. Konvensi dalam sastra jelas bersifat terbuka dan beragam sesuai dengan genre yang dimaksudkan oleh penulisny

E.     Penerapan Teori Resepsi Sastra
Penelitian resepsi sastra pada penerapannya mengacu pada proses pengolahan tanggapan pembaca atas karya sastra yang dibacanya. Metode resepsi sastra mendasarkan diri pada teori bahwa karya sastra itu sejak terbit selalu mendapatkan tanggapan dari pembacanya. Menurut Jauss (dalam Pradopo 2007: 209) apresiasi pembaca pertama akan dilanjutkan dan diperkaya melalui tanggapan yang lebih lanjut dari generasi ke generasi.
Tugas resepsi adalah meneliti tanggapan pembaca yang berbentuk interpretasi, konkretisasi, maupun kritik atas karya sastra yang dibaca. Tanggapan-tanggapan pembaca atas karya sastra yang dibacanya, dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain latar belakang sosial budaya, tingkat pendidikan pembacam tingkat pengalaman, dan usia pembaca.
1.      Penerapan Metode Resepsi Sinkronis
Penelitian resepsi dengan metode sinkronis adalah penelitian resepsi sastra yang menggunakan tanggapan pembaca sezaman, artinya pembaca yang digunakan sebagai responden berada dalam satu periode waktu. Penelitian resepsi dengan metode ini dapat dilakukan dengan cara menganalisis tanggapan pembaca sezaman dengan menggunakan teknik wawancara maupun teknik kuasioner. Oleh karena itu, penelitian resepsi sinkronis ini dapat digolongkan menjadi penelitian eksperimental.
Penelitian resepsi sinkronis ini jarang dilakukan oleh peneliti karena sukar dalam pelaksanaan penelitiannya. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Abdullah (dalam Jabrohim 2001:119) bahwa penelitian yang tergolong eksperimental dapat mengalami beberapa kendala saat pelaksaannya di lapangan. Penelitian eksperimental dinilai sangat rumit, khususnya dalam pemilihan responden, pemilihan teks sastra, dan penentuan teori.
Penelitian resepsi sastra menggunakan metode sinkronis ini pernah dilakukan oleh Dini Eka Rahmawati, mahasiswa program studi Sastra Jawa Unnes, yang meneliti resepsi masyarakat atas cerita rakyat Bledhug Kuwu dalam skripsinya yang berjudul Resepsi Cerita Rakyat Bledhug Kuwu (2008).
Dalam penelitiannya, Rahmawati menggunakan pendekatan reseptif dengan metode penelitian sinkronis. Artinya penelitian resepsi sastra yang dilakukan atas cerita Bledhug Kuwu dilakukan pada tanggapan pembaca yang berada pada satu zaman. Penelitian yang dilakukan Rahmawati menganalisis hasil konkretisasi masyarakat Bledhug Kuwu di Kabupaten Grobogan. Hasil penceritaan ulang dianalisis struktur cerita dengan perbandingan atas sebuah teks cerita yang diterbitkan Dinas Pariwisata Kabupaten Grobogan. Pembaca yang menjadi responden dalam penelitian tersebut merupakan masyarakat Bledhug Kuwu yang berada dalam satu periode. Sehingga dapat dikatakan penelitian Rahmawati termasuk penelitian resepsi sinkronis.
Masih jarang penelitian resepsi sinkronis yang dilakukan oleh ilmuwan sastra maupun para mahasiswa sastra. Hal ini dapat disebabkan karena beberapa faktor yang menjadi penghambat dalam pelaksanaan penelitian resepsi sinkronis.

2.      Penerapan Metode Resepsi Diakronis
Penelitian resepsi sastra dengan metode diakronis merupakan penelitian resepsi sastra yang dilakukan terhadap tanggapan-tanggapan pembaca dalam beberapa periode. Tetapi periode waktu yang dimaksud masih berada dalam satu rentang waktu.
Penelitian resepsi diakronis ini dilakukan atas tanggapan-tanggapan pembaca dalam beberapa periode yang berupa kritik sastra atas karya sastra yang dibacanya, maupun dari teks-teks yang muncul setelah karya sastra yang dimaksud. Umumnya penelitian resepsi diakronis dilakukan atas tanggapan pembaca yang berupa kritik sastra, baik yang termuat dalam media massa maupun dalam jurnal ilmiah.
Penelitian resepsi diakronis yang melihat bentuk fisik teks yang muncul sesudahnya dapat dilakukan melalui hasil intertekstual, penyalinan, penyaduran, maupun penerjemahan. Intertekstual merupakan fenomena resepsi pengarang dengan melibatkan teks yang pernah dibacanya dalam karya sastranya. Hasil intertekstual, penyalinan, penyaduran, maupun penerjemahan ini dapat dilakukan atas teks sastra lama maupun sastra modern.(Chamamah dalam Jabrohim 2001: 162-163).
Metode diakronis yang banyak dilakukan adalah penelitian tanggapan yang berupa kritik sastra. Penelitian resepsi diakronis pernah dilakukan oleh beberapa ahli sastra, misalnya Yusro Edy Nugroho dalam artikel berjudul Serat Wedhatama: Sebuah Masterpiece Jawa dalam Respon Pembaca (2001), Agus Nuryatin dengan artikel Resepsi Estetis Pembaca Atas Sri Sumarah dan Bawuk Karya Umar Kayam (1998), Siti Hariti Sastriyani dengan artikel berjudul Karya Sastra Perancis Abad ke-19 Madame Bovary dan Resepsinya di Indonesia (2001), dan Muhammad Walidin dengan artikel berjudul Seksualitas dalam Novel Indonesia Kontemporer (2007).
Nugroho (2001) dalam artikel berjudul Serat Wedhatama Sebuah Masterpiece Jawa dalam Respon Pembaca menggunakan karya sastra turunan sebagai respondennya. Penelitian ini menggunakan metode diakronis karena karya sastra yang digunakan muncul pada kurun waktu yang berbeda. Karya sastra turunan yang digunakan adalah Wedhatama Winardi (1941), Wedhatama Kawedar (1963), dan Wedhatama Jinarwa (1970).
Dalam penelitiannya, Nugroho dapat menunjukkan bagaimana seorang pembaca dapat memiliki kebebasan dalam menafsirkan makna dari Serat Wedhatama sesuai dengan apa yang dikuasai dan diharapkan atas keberadaan serat tersebut. Pencipta teks turunan ini telah meresepsi Serat Wedhatama dengan tujuan untuk memertahankan serat ini agar tetap dikenal pada zaman selanjutnya.
Penelitian lain yang menggunakan metode resepsi diakronis adalah penelitian yang dilakukan Nuryatin (1998) atas tanggapan pembaca terhadap cerita Sri Sumarah dan Bawuk karya Umar Kayam. Dalam penelitian yang berjudul Resepsi Estetis Pembaca Atas Sri Sumarah dan Bawuk Karya Umar Kayam ini, Nuryatin menggunakan tanggapan-tanggapan pembaca yang berupa kritik sastra yang berupa artikel maupun resensi yang termuat di media massa. Pembaca yang digunakan sebagai responden dalam penelitian ini berada dalam rentang waktu antara tahun 1970 hingga 1980. Sehingga penelitian ini dapat dimasukkan ke dalam penelitian diakronis.
Dalam penelitian ini, Nuryatin dapat menunjukkan kelompok-kelompok tanggapan pembaca atas cerita Sri Sumarah dan Bawuk karya Umar Kayam, yaitu tanggapan positif dan negatif. Pembaca yang digunakan dalam penelitian Nuryatin ini adalah pembaca ideal. Pembaca ini melakukan pembacaan terhada karya sastra secara mendalam, karena ada tujuan lain dari proses pembacaan itu.
Penelitian resepsi diakronis juga pernah dilakukan oleh Sastriyani dalam artikel yang berjudul berjudul Karya Sastra Perancis Abad ke-19 Madame Bovary dan Resepsinya di Indonesia. Dalam penelitian resepsi sastra ini, Sastriyani menggunakan pembaca ideal sebagaimana yang dilakukan oleh Nuryatin. Proses penelitian terhadap tanggapan pembaca dilakukan atas kritik yang diberikan oleh pembaca ideal. Dalam penelitiannya Sastriyani juga membandingkan tanggapan antara Madame Bovary dengan Belenggu. Dari proses penelitian diakronis ini, Sastriyani dapat menunjukkan pengaruh-pengaruh munculnya karya Madame Bovary di Indonesia.

F.     Kelebihan dan Kelemahan Metode Penelitian Resepsi Sastra
Masing-masing metode dalam penelitian mempunyai kelebihan dan kelemahan. Begitu juga dalam penelitian resepsi sastra. Masing-masing metode, baik sinkronis maupun diakronis, mempunyai kelebihan dan kelemahan. Menurut beberapa ahli, penelitian sinkronis mempunyai beberapa kelemahan dari segi proses kerjanya, karena termasuk penelitian eksperimental. Menurut Abdullah (dalam Jabrohim 2001: 119) penelitian yang tergolong eksperimental dapat mengalami beberapa kendala saat pelaksaannya di lapangan. Penelitian eksperimental dinilai sangat rumit, khususnya dalam pemilihan responden, pemilihan teks sastra, dan penentuan teori.
Selain itu, penelitian sinkronis hanya dapat digunakan untuk mengetahui tanggapan pemabaca pada satu kurun waktu. Sehingga apabila diterapkan untuk karya sastra yang terbit beberapa tahun yang lalu, akan sulit membedakan antara tanggapan yang dulu dan masa sekarang, karena terbentur masalah waktu.
Kelebihan dari penelitian resepsi sinkronis atau eksperimental ini antara lain (1) reponden dapat ditentukan tanpa harus mencari artikel kritik sastranya terlebih dahulu; (2) penelitian resepsi sinkronis dapat dilakukan secara langsung tanpa menunggu kemunculan kritik atau ulasan mengenai karya sastra; dan (3) dapat dilakukan pada karya sastra populer. Pada penelitian resepsi diakronis, peneliti dapat melakukan penelitian atas hasil-hasil intertekstual, penyalinan, penyaduran, maupun penerjemahan, yang berupa karya sastra turunan. Biasanya penelitian dengan menggunakan karya sastra turunan dapat berupa karya sastra turunan dari karya sastra lama, karya sastra tradisional, maupun karya sastra dunia.
Dalam metode diakronis ini, peneliti juga dapat menerapkan teori lain, seperti teori intertekstualitas, teori sastra bandingan, teori filologi, dan beberapa teori lain yang mendukung penelitian resepsi diakronis. Hal ini umumnya diterapkan dalam penelitian karya sastra turunan. Kelebihan lain dari penelitian resepsi diakronis adalah kemudahan peneliti dalam mencari data, yaitu tanggapan pembaca ideal terhadap suatu karya sastra. Sehingga peneliti tidak harus bersusah payah mencari data dengan teknik wawancara maupun kuasioner pada responden.
Kelemahan penelitian resepsi diakronis akan dirasakan oleh para peneliti pemula. Umumnya peneliti pemula akan mengalami kesulitan dalam menentukan karya sastra yang dijadikan objek penelitian. Karena umumnya karya sastra yang dikenal banyak orang telah diteliti resepsinya oleh peneliti-peneliti terdahulu, misalnya pada penelitian tanggapan atas Belenggu, Madame Bovary, Sri Sumarah dan Bawuk.
Selain itu, dalam penelitian terhadap karya sastra turunan, khususnya hasil intertekstual, peneliti akan kesulitan dalam menemukan teks asal dari karya sastra turunan tersebut. Dalam bidang puisi, peneliti yang menganalisis resepsi atas puisi Gotoloco karya Goenawan Mohamad akan merasa kesulitan dalam mencari teks Gatoloco yang asli. Hal ini mungkin juga dirasakan oleh peneliti teks puisi Asmaradana karya Goenawan Mohamad dan Subagiyo Sastrowardoyo, bahkan untuk beberapa puisi modern yang mengadopsi cerita-cerita pewayangan.

BAB III
PENUTUP

Ada berbagai macam teori sastra yang diterapkan dalam menganalisis suatu karya sastra,   dan di sini terfokus hanya pada teori resepsi sastra. Teori resepsi sastra yang bisa didefinisikan sebagai pengolahan teks, cara – cara pemberian makna terhadap karya, sehingga dapat memberikan respons terhadapnya. Teori resepsi sastra merupakan teori yang memfokuskan pembaca pembaca sebagai subjek yang aktif dalam menanggapi dan memaknai sebuah karya sastra, dalam memaknai karya sastra tiap orang akan berbeda dengan orang lainnya, dan bukan hanya tiap orang akan tetapi tiap periode juga berbeda dalam memaknai karya sastra.  Sehingga perbedaan itulah yang memunculkan akan adanya cakrawala harapan dan tempat terbuka. Dan ini dari estetika resepsi yakni bahwa karya sastra itu sejak terbitnya selalu mendapatkan resepsi atau tanggapan para pembacanya. Menurut jauss (1974: 12-3) apresiasi pembaca pertama terhadap sebuah karya sastra akan dilanjutkan dan diperkaya melalui tanggapan – tanggapan yang lebih lanjut dari generasi ke generasi. Dengan cara ini makna historis karya sastra akan ditentukan dan nilai estetiknya akan terungkap (Jauss, 1974:14).
     Dalam menganalisis karya sastra yang menggunakan teori resepsi sebagai landasannya, maka bisa dilakukan dengan menggunakan dua cara yaitu dengan metode sinkronik dan diakronik. Di mana sinkronik merupakan penelitian terhadap karya sastra dalam kurun waktu yang sama atau era yang sama, dan biasanya karya sastra yang diteliti yaitu karya sastra yang lagi meledak atau buming pada saat itu dan peelitian ini tergolong penelitian eksperimental dimana tidak ada bukti tertulis mengenai respon dari pembaca. Sedangkan metode diakronik yaitu sebuah metode penelitian terhadap karya sastra dalam beberapa periode. Periode yang dimaksud di sini yakni dalam perjalanan waktu. Metode diakronik ini bisa diterapkan pada karya sastra yang memiliki sejarah. Umumnya penelitian resepsi diakronis dilakukan atas tanggapan pembaca yang berupa kritik sastra, baik yang termuat dalam media massa maupun dalam jurnal ilmiah.

DAFTAR PUSTAKA

Jabrohim (Ed.). 2001. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Hanindita Graha Widia.

Junus, Umar. 1985. Resepsi Sastra: Sebuah Pengantar. Jakarta: Gramedia.

Pradopo, Rachmat Djoko. 2007. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Ratna, Nyoman Kutha. 2009. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sastriyani, Siti Hariti. 2001. Karya Sastra Perancis Abad ke-19 Madame Bovary dan Resepsinya di Indonesia. Dalam Jurnal Humaniora, Volume XIII, No. 3/2001, hlm. 252-259. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Walidin, Muhammad. 2007. Seksualitas dalam Novel Indonesia Kontemporer. http://mwalidin.blogspot.com/2007/12/seksualitas-dalam-novel-indonesia.html, diakses 1 Mei 2014 jam 22.05 WIB

























MAKALAH
TEORI RESEPSI SASTRA



Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah Teori Sastra




Disusun Oleh :

WAHYU LAILUL FADLI
S 200130054











MAGISTER PENGKAJIAN BAHASA
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2014